1. PENGERTIAN DAN SEJARAH FILSAFAT PANCASILA
Pancasila sebagai falsafah dan ideologi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai warna Indonesia yang baik, sudah seharusnya kita memahami tentang pengertian Filsafat Pancasila. Mari kita belajar bersama-sama tentang Filsafat Pancasila.
A. Pengertian Filsafat Pancasila
Filsafat Pancasila dapat didefinisikan secara ringkas sebagai refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan menyeluruh.
Pengertian Filsafat Pancasila adalah hasil dari pemikiran yang paling dalam yang dianggap, dipercaya dan sangat diyakini sebagai sesuatu ( norma-norma dan nilai-nilai ) yang paling dianggap benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan paling sesuai untuk bangsa Indonesia.
B. Sejarah Proses Perumusan Pancasila sebagai Dasar Negara
Menjelang akhir tahun 1944, bala tentara Jepang secara terus menerus mederita kekalahan perang dari sekutu. Hal ini kemudian membawa perubahan baru bagi pemerintahan Jepang di Tokyo dengan janji kemerdekaan yang di umumkan Perdana Menteri Koiso tanggal 7 September 1944 dalam istimewa Parlemen Jepang (Teikoku gikai) ke-85. Janji tersebut keudian diumumkan oleh Jendral Kumakichi Harada tanggal 1 Maret 1945 yang merencanakan pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)..
Sebagai realisasi janji tersebut pada tanggal 29 April 1945 kepala pemerintahan Jepang untuk Jawa (Gunseikan) membentuk BPUPKI dengan anggota sebanyak 60 orang yang merupakan wakil atau mencerminkan suku yang tersebar diwilayah Indonesia. BPUPKI diketuai oleh Dr.Radjiman Widyoningrat, wakil ketua R.P Suroso, dan pejabat mewakili pemeritahan Jepang Tuan Hachibangase. Dalam pelaksanaan tugasnya dibentuk beberapa panitia kecil, antara lain panitia Sembilan dan panitia perancang UUD. Inilah langkah awal dalam sejarah perumusan pancasila sebagai dasar Negara.
2.LANDASAN FILOSOFIS FILSAFAT PANCASILA
KAJIAN ONTOLOGIS
Secara ontologis kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai
upaya untuk mengetahui hakekat dasar dari sila sila Pancasila. Menurut
Notonagoro hakekat dasar ontologis Pancasila adalah manusia. Mengapa ?,
karena manusia merupakan subyek hukum pokok dari sila sila Pancasila.
Hal ini dapat dijelaskan bahwa yang berkeuhanan Yang Maha Esa,
berkemanusian yang adil dan beradab, berkesatuan indonesia,
berkerakyatan yaang dipimpin oleh hikmad kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia pada hakekatnya adalah manusia (Kaelan, 2005).
Jadi secara ontologis hakekat dasar keberadaan dari sila sila Pancasila
adalah manusia. Untuk hal ini Notonagoro lebih lanjut mengemukakan bahwa
manusia sebagai pendukung pokok sila sila Pancasila secara ontologi
memiliki hal-hal yang mutlak, yaitu terdiri atas susunan kodrat, raga
dan jiwa, jasmani dan rohani. Juga sebagai makluk individu dan sosial
serta kedudukan kodrat manusia sebagai makluk pribadi dan sebagai makluk
Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, maka secara hierarkhis sila
pertama Ketuhanan Yang Maha Esa mendasari dan menjiwai keempat sila sila
Pancasila (Kaelan, 2005).
Selanjutnya Pancasila secarai dasar filsafat negara Republik Indonesia
memiliki susunan lima sila yang merupakan suatu persatuan dan kesatuan
serta mempunyai sifat dasar kesatuan yang mutlak yaitu berupa sifat
kodrat monodualis, sebagai makluk individu sekaligus juga sebagai makluk
sosial, serta kedudukannya sebagai makluk pribadi yang berdiri sendiri
juga sekaligus sebagai maakluk Tuhan. Konsekuensinya segala aspek dalam
penyelenggaraan negara diliputi oleh nilai nilai Pancasila yang
merupakan suatu kesatuan yang utuh yang memiliki sifat dasar yang mutlak
berupa sifat kodrat manusia yang monodualis tersebut.
KAJIAN EPISTIMOLOGI
Kajian epistimologi filsafat pancasila dimaksudkan sebagai upaya untuk
mencari hakekat pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Hal ini
dimungkinkan karena epistimologi merupakan bidang filsafat yang membahas
hakekat ilmu pengetahuan (ilmu tentang ilmu). Kajian epistimologi
Pancasila tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologisnya. Oleh karena
itu dasar epistimologis Pancasila sangat berkaitan erat dengan konsep
dasarnya tentang hakekat manusia.
Menurut Titus(1984: 20) terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistimologi yaitu :
- tentang sumber pengetahuan manusia;
- tentang teori kebenaran pengetahuan manusia;
- tentang watak pengetahuan manusia.
Epistimologi Pancasila sebagai suatu obyek kajian pengetahuan pada
hakekatnya meliputi masalah sumber pengetahuan Pancasila dan susunan
pengetahuan Pancasila. Tentang sumber pengetahuan Pancasila, sebagaimana
telah dipahami bersama adalah nilai-nilai yang ada pada bangsa
Indonesia sendiri. Merujuk pada pemikiran filsafat Aristoteles, bahwa
nilai-nilai tersebut sebagai kausa materialis Pancasila. Selanjutnya
susunan Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan maka Pancasila
memiliki susunan yang bersifat formal logis, baik dalam arti susunan
sila-sila Pancasila maupun isi arti dari dari sila-sila Pancasila itu.
Susunan kesatuan sila-sila Pancasila adalah bersifat hierarkhis dan
berbentuk piramidal, dimana :
Sila pertama Pancasila mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya
- Sila kedua didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila ketiga, keempat dan kelima
- Sila ketiga didasari dan dijiwai sila pertama, kedua serta mendasari dan menjiwai sila keempat dan kelima
- Sila keempat didasari dan dijiwai sila pertama, kedua dan ketiga, serta mendasari dan menjiwai sila kelima
- Sila kelima didasari dan dijiwai sila pertama, kedua, ketiga, dan keempat.
Demikianlah maka susunan Pancasila memiliki sistem logis baik yang
menyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Dasar-dasar rasional logis
Pancasila juga mennyangkut kualitas maupun kuantitasnya. Selain itu,
dasar-dasar rasional logis Pancasila juga menyangkut isi arti sila-sila
Pancasila tersebut. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa memberilandasan
kebenaran pengetahuan manusia yang bersumber pada intuisi. Manusia pada
hakekatnya kedudukan dan kodratnya adalah sebagai mahluk Tuhan Yang Maha
Esa, maka sesuai dengan sila pertama Pancasila, epistimologi Pancasila
juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak. Hal ini sebagai
tingkat kebenaran yang tertinggi. Selanjutnya kebenaran dan pengetahuan
manusia merupakan suatu sintesa yang harmonis antara potensi-potensi
kejiwaan manusia yaitu akal, rasa, dan kehendak manusia untuk
mendapatkan kebenaran yang tertinggi.
Selain itu dalam sila ketiga, keempat dan kelima, maka epistimologi
Pancasila mengakui kebenaran konsensus terutama dalam kaitannya dengan
hakekat sifat kodrat manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial.
Sebagai suatu paham epistimologi, maka Pancasila mendasarkan
pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakekatnya tidak bebas nilai
karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta
moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan
pengetahuan dalam hidup manusia. Itulah sebabnya Pancasila secara
epistimologis harus menjadi dasar moralitas bangsa dalam membangun
perkembangan sains dan teknologi dewasa ini.
KAJIAN AKSIOLOGI
Kajian aksiologi filsafat Pancasila pada hakekatnya membahas tentang
nilai praksis atau manfaat suatu pengetahuan tentang Pancasila. Karena
sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki satu kesatuan
dasar aksiologis, sehingga nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
pada hakekatnya juga merupakan suatu kesatuan. Selanjutnya aksiologi
Pancasila mengandung arti bahwa kita membahas tentang filsafat nilai
Pancasila. Istilah nilai dalam kajian filsafat dipakai untuk merujuk
pada ungkapan abstrak yang dapat juga diartikan sebagai “keberhargaan”
(worth) atau “kebaikan” (goodnes), dan kata kerja yang artinya sesuatu
tindakan kejiwaan tertentu dalam menilai atau melakukan penilaian (
Frankena, 229).
Terdapat berbagai macam teori tentang nilai dan hal ini sangat
tergantung pada titik tolak dan sudut pandangnya masing-masing dalam
menentukan pengertian nilai. Kalangan materialis memandang bahwa hakekat
nilai yang tertinggi adalah nilai material, sementara kalangan hedonis
berpandangan bahwa nilai yang tertinggi adalah nilai kenikmatan. Namun
dari berbagai macam pandangan tentang nilai dapat dikelompokan pada dua
macam sudut pandang, yaitu bahwa sesuatu itu bernilai karena berkaitan
dengan subjek pemberi nilai yaitu manusia. Hal ini bersifat subjektif,
namun juga terdapat pandangan bahwa pada hakekatnya sesuatu itu melekat
pada dirinya sendiri memang bernilai. Hal ini merupakan pandangan dari
paham objektivisme.
Menurut Notonagoro bahwa nilai-nilai Pancasila itu termasuk nilai
kerohanian, tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui nilai material
dan nilai vital. Dengan demikian nilai-nilai Pancasila yang tergolong
nilai kerokhanian itu juga mengandung nilai-nilai lain secara lengkap
dan harmonis seperti nilai material, nilai vital, nilai kebenaran, nilai
keindahan atau estetis, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nilai
kesucian yang secara keseluruhan bersifat sisttematik-hierarkhis, dimana
sila pertama yaitu ketuhanan Yang Maha Esa menjadi basis dari semua
sila-sila Pancasila (Darmodihardjo, 1978).
Secara aksiologis, bangsa Indonesia merupakan pendukung nilai-nilai
Pancasila (subcriber of values Pancasila). Bangsa Indonesia yang
berketuhanan, yang berkemanusiaan, yang berpersatuan, yang berkerakyatan
dan yang berkeadilan sosial. Sebagai pendukung nilai, bangsa Indonesia
itulah yang menghargai, mengakui, menerima Pancasila sebagai sesuatu
yang bernilai. Pengakuan, penghargaan, dan penerimaan Pancasila sebagai
sesuatu yang bernilai itu akan tampak menggejala dalam sikap, tingkah
laku, dan perbuatan bangsa Indonesia. Kalau pengakuan, penerimaan atau
penghargaan itu telah menggejala dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan
menusia dan bangsa Indonesia, maka bangsa Indonesia dalam hal ini
sekaligus adalah pengembannya dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan
manusia Indonesia.
3.PANCASILA SEBAGAI WELTHANSCHAUUNG(PANDANGAN HIDUP) BANGSA INDONESIA
Pancasila adalah satu weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu-padu di atas dasar Pancasila itu. Dan bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakekatnya satu alat mempersatu dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakit-penyakit yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun yaitu penyakit terutama sekali, Imperialisme.Perjuangan sesuatu bangsa, perjuangan melawan Imperialisme, perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan sesuatu bangsa yang membawa corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya, dan lain-lain sebagainya.….
4.PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PANCASILA
Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional. Pendidikan itu harus sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Pancasila sebagai dasar negara Indonesia (ideologi) dan menjadi pedoman hidup, jiwa dan keperibadian bangsa Indonesia. Pancasila terkandung di dalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif, sehingga sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai. Oleh karena itu, Pancasila memberikan dasar-dasar yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bila dijabarkan dalam kehidupan yang nyata pada masyarakat, bangsa maupun negara maka nilai tersebut dijabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas, yaitu norma moral dan norma hukum atau sistem perundangan yang berlaku di Indonesia. Dalam pemikiran filsafat aksiologi yang mengacu pada persoalan nilai, baik dalam konteks estetika, moral maupun agama, mengkaji dan menggali hakikat nilai itu. Maka melalui pendididkan Pancasila peserta didik diharapkan mampu memahami, menganalisis nilai-nilai Pancasila sebagai sumber acuan dalam menyusun etika kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia dalam mencapai cita-cita dan tujuan nasionalnya, dan menjawab masalah yang dihadapi secara berkesinambungan.
SUMBER :
- Kaelan, 2005, Filsafat Pancasila sebagai Filasfat Bangsa Negara Indonesia, Makalah pada Kursus Calon Dosen Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta.
- Kaelan. (2002). Filsafat Pancasila: Pandangan hidup bangsa Indonesia. Yogyakarta: Paradigma.
- Notonagoro, 1971, Pengertian Dasar bagi Implementasi Pancasila untuk ABRI, Departemen Pertahanan dan Keamanan, Jakarta.
- Jalaluddin. (2012). Filsafat pendidikan. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
No comments:
Post a Comment